Contoh Marquee dari bawah ke atas

Minggu, 17 Mei 2015

KH. MUFTI BIN ASNAWI

MENGENAL SOSOK
BUYA CAKUNG SREWU
KH. MUFTI BIN ASNAWI
(Di Susun oleh: KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA. 1432 H/2011)

NAMA DAN KELAHIRAN
            Beliau bernama lengkap KH. Mufti bin Asnawi bin Bahauddin bin Ramli bin Alim  bin Abdullah bin ibrohim bin syekh hasan bashri bin fatimah binti Syekh ciliwulung bin Raden kenyep bin Pangeran Jaga Lautan. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad saw melalui Sayyidina Husein ra.
Beliau adalah keturunan ke sepuluh dari Syekh Ciliwulung, adalah seorang penyebar agama Islam di daerah Banten Utara di Makamkan di Kp. Cakung Gegunung dekat Cakung Srewu.
                        KH. Mufti bin Asnawi lahir pada tanggal 02 januari 1935 di Kampung Cakung Bojong, bersebrangan dengan Cakung srewu. Ketika itu Bangsa Indonesia masih berada dalam cengkraman colonial Belanda. Semangat pembebasan dari penjajahan yang pantang menyerah   kemudian menjadi penyulut semangat beliau dalam menuntut ilmu ketika usia remaja.
           
PENGELANAAN ILMIYAH KH. MUFTI ASNAWI
            KH. Mufti bin Asnawi mengawali belajar di Kampungnya hingga usia menganjak remaja. Selain kepada ayahnya beliau juga menuntut ilmu di kampong halamannya kepada Ki Pingil, Ki Ibrahim dan Ki Astari. Cakung dikenal sebagai daerah yang telah mengenal tradisi ilmu keislaman  sebelum tradisi  ilmu keislaman Tanara, tempat kelahiran Syeh Nawawi Al-bantani. Minimal sebelum kelahiran pujangga besar islam Banten, Syekh Nawawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan diketemukannya naskah-naskah klasik yang berangka tahun sebelum 1813, tahun kelahiran Syekh Nawawi Al-bantani. Bahkan Syekh nawawi sendiri sebelum berguru ke Makkah beliau berguru kepada Ki Ayip Cakung teman ayahnya sendiri yaitu ki Umar bin Arabi.
            Bahkan beberapa sumber menyebutkan Cakung telah mengenal Islam sebelum lahirnya kesultanan Banten. Syekh ciliwulung bersama delapan ulama lainnya membantu Maulana Hasanudin dalam  penyebaran Islam di Banten. Mereka adalah Sembilan orang yang bernama depan Cili yaitu: Syekh Ciliwulung, Syekh Cilikored, Syekh cilimede, Syekh Cilijohar, Syekh Ciliglebeg, Syekh Cilibadrin, Syekh Cilibred, Syekh Cilibayun dan Syekh Ciliwangsa.
            Hal inilah yang menjadikan suasana kebatinan seorang Mufti remaja begitu semangat menuntut ilmu. Yakni lingkungan ilmiyah yang begitu kondusif untuk mendukung seorang anak menjadi terpacu untuk menereruskan tradisi keilmuan yang turun-temurun.
            Setelah dirasa cukup umur, Ki Asnawi, seorang pedagang yang juga fasih dalam tradisi kesantrian mengirim anaknya untuk mengawali pengelanaan ilmiyah anaknya ke Pesantren Singarajan di daerah Pontang, serang. Pesantren Singgarajan diasuh oleh Kiayi Kharismatik ketika itu yang dikenal faqih dan ahli segala bidang ilmu yaitu KH. Marsyad.
            Dipesantren ini KH. Mufti mengalami berbagai macam kejadian aneh di antaranya di kisahkan syekh Ciliwulung datang bukan dalam keadaan mimpi untuk mengajar Mufti remaja kitab Matan Taqrib secara musafahah.
            Semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu menjadikan KH. Mufti  menghabiskan seluruh waktunya untuk mengaji. Baik mengaji bandungan di depan kiayi maupun sorogan di depan santri senior. Bagi KH. Mufti kecil, banyak tidur adalah kerugian bagi seorang santri. Maka KH. Mufti hanya tidur dengan berbantalkan cumplung kelapa agar tak nyenyak. Menghafal juga adalah kegemaran KH. Mufti sejak kecil. Beberapa kitab nadzam berhasil beliau hafal dalam waktu singkat.
            Ustad Bagja, teman sekamarnya berseloroh: “Satu kamar dengan Ki Mufti tidak bisa tidur nyenyak, karena mulutnya tidak pernah berhenti menghafal nadzam”.
            Santri-santri senior yang ketika mula-mula kedatangan KH. Mufti di pesantren mengajar dasar-dasar nahu dan sorof, hanya dalam beberapa tahun berbalik menjadi orang-orang yang belajar di hadapan KH. Mufti.
            Beberapa tahun kemudian Kiayi Marsyad mengatakan: “Bukan hanya bayong, wader-wader telah habis oleh Mufti”. Maksudnya begitu cepat KH. Mufti dapat mempelajari berbagai imu dari Ki Marsyad. Selanjutnya Ki Marsyad menganjurkan KH. Mufti untuk mencari pengalaman mengaji ke tempat lain.
            Berbagai pesantren di datangi KH. Mufti dalam pengelanaan ilmiyah fase ketiganya. Di antaranya pesantren Kadukaweng Pandeglang, pesantren Buya Amin koper, Pesantren sukabumi, laes dll.

PERNIKAHAN KH. MUFTI BIN ASNAWI
            Sebagai seorang santri yang sudah dikenal kejeniusannya, tentunya membuat sosok KH. Mufti remaja menjadi incaran para orang tua yang berharap mempunyai menantu santri yang kelak diharapkan menjadi kiayi. Di Singarajan sendiri sudah terdengar khabar dari Cakung bahwa KH. Mufti akan dijadikan menantu oleh orang Singarajan. Hal ini terdengar oleh Ki Astari Cakung. Akhirnya Ki Astari mengutus orang untuk menemui ayah KH. Mufti agar segera menikahkan KH. Mufti dengan gadis Cakung Srewu, “Kalau Mufti menikah dengan gadis srewu, maka srewu akan menjadi gedong ilmu”. Demikian kira-kira ucapan Ki Astari, seorang ulama yang telah masyhur dengan derajat kewaliyan.
            Akhirnya, KH. Mufti dinikahkan dengan Hj. Jawariyah, putri seorang sesepuh Cakung Srewu. Walaupun telah menikah KH. Mufti tidak menghentikan kehausannya akan ilmu pengetahuan. KH. Mufti terus mesantren ke berbagai tempat untuk berguru kepada para kiayi.
Hj. Jawariyah adalah sosok isteri solihah yang mendampingi perjuangan KH. Mufti bin Asnawi dalam suka dan duka. Pahit dan getir perjuangan Kiayi besar ini dalam mengasuh pesantren dan membimbing umat selalu mendapat hiburan dan kasih sayang dari isterinya yang tercinta. KH. Mufti bin Asnawi hanya beristeri dengan Hj. Jawariyah sampai beliau yang mulia menghadap Al Rafiiq al a’la.

MENDIRIKAN PESANTREN
            Setelah menikah, atas anjuran Ki Marsyad dan Ki astari akhirnya KH. Mufti mendirikan pesantren di cakung srewu pada tahun 1962 pada umur yang sangat muda yaitu 27 tahun.
            Pesantren ini bermula bernama Pondok Pesantren Darul hikmah, kemudian menjadi pondok Pesantren Darul Hikmah Cakung, kemudian atas impian dengan Syekh Ciliwulung, pesantren ini bernama Pondok Pesantren Darul hikmah Ciliwulung. Beberapa tahun nama pondok pesantren ini ditulis dengan nama Pondok pesantren Darul Hikmah Ciliwulung sampai akhirnya beliau bermimpi dimarahi oleh Syekh ciliwulung untuk menambah kata Syekh sebelum kata Ciliwulung. Akhirnya sampai sekarang Pondok pesantren ini bernama PONDOK PESANTREN DARUL HIKMAH SYEKH CILIWULUNG (DHSC).
            Pondok Pesantren DHSC mengkader tunas pejuang ulama berbasis akhlak salafussolih dan fiqh madzhab Syafi’I dan Aqidah ahli sunnah wal jamaah madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari serta tasawuf Alghazali dlsb.
            Ramalan Ki Astari yang mengatakan Cakung srewu akan menjadi Gedong ilmu menjadi kenyataan, santri dari berbagai daerah datang untuk berguru ilmu agama kepada KH. Mufti bin Asnawi.
Istiqomah yang sempurna untuk mengajar para santri setelah mendirikan pesantren menjadikan nama KH. Mufti semakin dikenal luas. Dalam usia yang sangat muda KH. Mufti Asnawi telah dipercaya oleh Abuya Amin Koper untuk menjadi badal pengajian para kiayi di masjid kresek yang dilaksanakan sejumat sekali setiap hari Selasa.
KH. Mufti muda juga telah menjadi andalan Buya Amin untuk mencari matlab fiqih dari berbagai macam kitab apabila ada permasalahan fiqh yang mesti di selesaikan.
Pesantren DHSC terus berkembang mulai hanya dari beberapa kobong bilik bambu hingga mendirikan madrasah MTs pada tahun 1972 dan MA pada tahun 1993. Sedangkan MI telah berdiri sejak berdirinya pondok pesantren tahun1962.
Seperti di pesantren salafiyah umumnya, di pesantren DHSC juga terbentuk kelurahan santri DHSC yang mulai di bentuk kepengurusannya tahun 1970. Lurah pertama pondok pesantren DHSC adalah Drs. Memed Sumaidi dari Palembang yang berkhidmat mulai tahun 1970-1985, sekarang beliau menjadi Dosen di sebuah universitas di Palembang, juga menjadi da’i. Diteruskan oleh Mufid Dahlan, S.Pd.I  dari Talok yang berkhidmat sejak tahun 1985 sampai 1990, kemudian ia dinikahkan dengan kemenakan KH. Mufti bin Asnawi. Diteruskan oleh Nawawi dari pontang yang berkhidmat mulai tahun 1990 sampai 1992. Kemudian pada tahun 1992 lurah pondok di emban oleh Madaris dari Gembor, sekarang memimpin majlis dzikir di Pasir Sadang Cikande.
Lalu disusul oleh H. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA. Dari Cempaka Kresek Yang berkhidmat menjadi lurah pondok mulai dari tahun 1996 sampai tahun 1997, sekarang mengasuh para santri di Pesantrennya Nahdlatul ulum di cempaka. Kemudian tahun 1997 sampai tahun 2000 di emban oleh Muhtadi, S.Pd.I dari Koper, kini memimpin Yayasan nurul falah di Koper cikande. Disusul oleh Mun’im Hari, S.Pd.I yang merupakan adik dari lurah kedua Mufid Dahlan, hanya menjabat beberapa bulan pada tahun 2000. Kelurahan kemudian dikhidmahkan kepada Jaelani dari Tamiang pada tahun 2000-2005. Dan dari tahun 2005 sampai sekarang diemban oleh Zakariya.

KEILMUAN DAN KARANGAN
            KH. Mufti Asnawi adalah seorang al fardliy, yaitu seorang yang mumpuni dalam ilmu faraid atau ilmu pembagian waris. Dalam masalah ini, sering KH. Mufti menyelesaikan sengketa waris di tengah masyarakat. Bahkan tak jarang terpaksa harus berbeda pendapat dengan kiayi lain.
            Banyak kisah perdebatan KH. Mufti dengan para kiayi dalam pembagian waris. Kecemerlangan dalam ilmu nahwu membantu KH. Mufti dalam memahami ilmu waris dari berbagai macam sumber kitab klasik. Sehingga kiayi yang hanya pandai dalam waris tapi kurang dalam nahwu akan terjebak kedalam salah memahami teks kitab kuning. Maka kemudin KH. Mufti menjadi rujukan utama masarakat sekitar Serang-Tangerang dalam ilmu Faraid.
            Dalam ilmu Faraid KH. Mufti mengarang sebuah kitab yang merupakan syarah dari kitab matan rahbiyyah. Kitab ini ditulis dengan tangannya sendiri dalam sebuah buku. Kemudian sekitar tahun 2000 Mun’im Hari menulisnya dengan computer. Namun sayang, dalam proses cetak kitab ini hilang. Dan sampai sekarang belum bisa ditemukan.
            Dalam ilmu Nahwu, KH. Mufti mengarang kitab Amtsilatul I’rab, yaitu berisi tentang cara memahami Gramer bahasa Arab dengan metode pengenalan  I’rab seluruh bab nahwu. Kitab ini telah dicetak dan menjadi pegangan santri srewu.
            Dalam masalah-masalah fiqh, KH. Mufti begitu teliti dalam pengambilan matlab atau maraji’. Beliau mengumpulkan masalah-masalah fiqh dalam sebuah catatan yang tersusun rapih, kemudian beliau menyebutkan sumber kitab dan halamannya. Insya Allah kitab ini akan dicetak agar bisa lebih bermanfaat untuk kaum muslimin.

KESAKSIAN-KESAKSIAN TENTANG KH. MUFTI ASNAWI
            Kisah kehidupan KH. Mufti bin Asnawi adalah kisah hidup yang penuh kesahajaan, ketawadu’an dan kebijaksanaan. Ilmu yang begitu tabahhur tidak menjadikan KH. Mufti menganggap dirinya penting atau gumede. Sangat biasa. Itulah kesan yang bisa dikatakan orang yang pernah berjumpa dengannya. Bahkan cara berpakaian dan gaya akhlak kadang kala tidak mengkesankan adanya jarak antara beliau dengan siapa saja yang dihadapinya.
            Orang bodoh dan orang miskin tidak akan merasa direndahkan karena kebodohan dan kemiskinannya bila sedang bicara dengan KH. Mufti karena sikapnya sama saja dengan sikapnya kepada orang alim dan orang kaya. Penuh penghormatan.
            Orang kaya dan orang alim tidak akan merasa tidak dihormati oleh beliau karena memang beliau tidak memusuhi orang kaya dan sangat mencintai orang alim.
            Santri-santri merasa sama rata mendapat perhatian cinta dan kasih sayang beliau. Beliau tidak pernah menterjemahkan kasih sayang yang berlebihan kepada salah seorang santrinya sehingga semuanya merasa menjadi orang yang paling diperhatikan dan disayangi.
            Bersamaan dengan segala kesahajaan sikap hidup KH. Mufti ternyata banyak kesaksian tentang kelebihan dan keistimewaan KH. Mufti.
            Mufid Dahlan mengisahkan tentang perjalanan KH. Mufti menuju undangan riungan bersama jamaah. Ketika masih diperjalanan hujan turun. Untung tempat yang dituju telah dekat. Setelah sampai di rumah sohibul hajat jamaah yang bersama KH. Mufti menggerutu karena baju mereka kekucut. Namun aneh baju KH. Mufti tetap kering.
            Syamsul Muin meriwayatkan tentang kejadian di depan pesantren. Ketika itu KH. Mufti sedang santai duduk di depan pesantren. Tiba-tiba ada seekor burung yang terbang tepat di atas KH. Mufti, kemudian burung itu terjatuh dan mati.
            Muaayyad menceritakan, ketika KH. Mufti mencari kunci untuk melepas sebuah baud yang sukar dilepas kemudian ketika kunci tidak ada KH. Mufti melepasnya hanya dengan jari telunjuk.
            Mun’im Hari mengkhabarkan, ketika ada seorang santri yang sedang duduk di bawah pohon kelapa, KH. Mufti menyuruh santri itu untuk segera pindah. Setelah beberapa saat santri itu pindah, ternyata pelepah kelapa itu jatuh tepat di tempat santri itu duduk.
            Almarhum H. sukari mengkisahkan perjalannya ke Palembang bersama KH. Mufti ketika mendapat undangan seorang Habib untuk menyelesaikan sebuah masalah Faraid. Pakaian KH. Mufti begitu sederhana sedang H. Sukari berpakaian rapih seperti kiayi. Kemudian Habib dan jamaah lainnya menyambut H. sukari dengan penuh penghormatan karena dikira beliaulah yang bernama KH. Mufti. Sedangkan KH. Mufti sendiri tidak diperdulikan.
            Fahaduddin menyebutkan, salah seorang santri ada yang memetik kelapa KH. Mufti tanpa ijin, kemudian ketika bertemu dengan santri tersebut KH. Mufti mengatakan tolong jaga kelapa ini agar jangan ada yang mencuri. Rupanya dengan tanpa ceplok batok KH. Mufti mengetahui santri itu mencuri.
            Tabrani meriwayatkan, motor keluarga KH. Mufti hilang. Kemudian salah seorang anaknya mencari info kemana-mana untuk menemukan motor tersebut. Selain menghubungi para jawara yang dikenal juga mendatangi ahli hikmah yang bisa melihat motor itu secara gaib. Namun hasilnya tetap nihil. Kemudian salah seorang anak perempuannya merayu KH. Mufti untuk menemukan solusi. Awalnyap KH. Mufti menolak dan menganjurkan anaknya tawakal. Tapi karena anaknya ini terus merayu setengah memaksa kemudian KH. Mufti mengambil kertas dan mengusap dengan tangannya lalu gambar orang yang mencuri itu kelihatan. Karena pencuri itu dikenal maka KH. Mufti memerintahkan untuk merahasiakan kepada siapapun.
            Muayyad mengkisahkan, ketika santri DHSC berkemah disuatu tempat yang angker, beberapa santri melihat KH. Mufti berjalan mengelilingi tempat santri berkemah di tengah malam. Padahal KH. Mufti tidak ikut pergi waktu siang. KH. Mufti adalah guru yang sangat memperhatikan muridnya sehingga setiap ada kegiatan di luar pesantren KH. Mufti selalu ikut di hari pertama kemudian setelah semuanya dirasa beres KH. Mufti pulang. Tapi dalam kemah kali ini KH. Mufti tidak ikut. Maka santri heran melihat KH. Mufti tengah malam mengelilingi tempat kemah. Karena KH. Mufti tidak menghampiri ke kemah para santri yang melihat tidak berani menegur dan hanya memperhatikan dari kejauhan. Ternyata setelah kemah selesai mendapat berita bahwa sama sekali KH. Mufti tidak meninggalkan pesantren beberapa hari ini. Hal itu mudah diketahui karena bila bepergian KH. Mufti selalu mengajak salah seorang santri atau menantunya. Rupanya malam itu ada hal yang menghawatirkan para santri sehingga KH. Mufti harus datang ke tempat perkemahan dengan cara aneh.
            Cerita mutawatir tentang pohon ambon di komplek kramat Syeh Ciliwulung juga sampai kepada penulis. Ada sebuah pohon ambon angker yang sangat tua dan besar tidak ada orang yang berani merubuhkannya karena ada cerita turun-temurun bahwa siapa yang berani merubuhkannya akan terkena bencana. Padahal adanya pohon itu setidaknya membuat pejalan kaki takut untuk lewat di tengah malam. Namun KH. Mufti kemudian berani untuk menebas pohon itu dan Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.
            Posisi Cakung Srewu bersebrangan dengan Cakung Gandawati, banyak aktifitas KH. Mufti di daerah seberang. Sebelum ada jembatan bila hendak menyebrang harus menggunakan perahu. Tak jarang KH. Mufti pulang tengah malam dalam keadaan Mang las (tukang perahu) sudah pulang ke rumah.
            Seorang santri pernah menemani KH. Mufti pada suatu acara di sebrang. Pulang tengah malam. Di gewori , mang las tidak menyahut. Berarti mang las sudah pulang ke rumah. KH. Mufti mengajak santri itu tidur di Musola Bojong. Ketika santri itu ngeliyep, ia melihat KH. Mufti keluar musolla. Santri itu memperhatikan KH. Mufti yang berjalan menuju kali, dan, Subhanallah, KH. Mufti berajalan di atas air menuju seberang.
            Santri lain dengan kejadian hamper mirip menyaksikan KH. Mufti memanggil perahu yang terkunci. Kemudian perahu yang tanpa orang itu menyebrang menuju KH. Mufti dan kemudian membawanya ke Srewu.
            Penulis pernah silaturahmi dengan seorang kiayi yang sangat tua di Serang, beliau seangkatan dengan Kiayi Astari. Beliau menceritakan bahwa dulu beliau dihubungi oleh Ki Astari untuk datang di malam jum’at ke Cakung untuk dikasih jubah hitam.  Setelah beliau sampai di rumah ki Astari ada seorang pemuda di hadapan Ki Astari. Rupanya pemuda itu adalah KH. Mufti muda. Setelah beliau duduk, Ki Astari mengambil jubah hitam. Namun, ternyata jubah hitam itu tidak diberikan kepada beliau tapi diberikan kepada pemuda itu yang tak lain adalah KH. Mufti.
            Masih banyak lagi kisah-kisah yang penulis catat dari masyarakat yang menyaksikan keistimewaan KH. Mufti Asnawi, namun buku kecil ini terbatas tempat dan waktu. Insya Allah dalam kesempatan lain penulis akan menulis buku lagi untuk kelengkapan kisah KH. Mufti bin Asnawi.

WAFATNYA KH. MUFTI ASNAWI
             Akhirnya hari Sabtu 4 Syawal 1432 h. bertepatan dengan tanggal 3 september jam 09:50 pagi manusia mulia ini menghadap al-Rafiiq al A’la di dalam lingkungan Pondok pesantrennya  dalam usia 76 tahun. Mungkin, keinginan kuat Abah untuk segera pulang dari Rumah Sakit ke Pesantren adalah karena Abah telah mengetahui bahwa dirinya akan segera menghadap Allah dan Abah tidak ingin menghadap Allah jauh dari pesantren dan para santri sesuai dengan doa:  Watawaffanaa ma’al abraar . Banten kehilangan satu lagi putra terbaiknya.
           
FAIDAH: KERAMAT CAKUNG DAN SEKITARNYA
1.      Syekh Ciliwulung (Cakung Gegunung)
2.      Syekh Hasan bashri (Cakung Kuranji)
3.      Syekh Astari (Cakung Sikujang)
4.      Syekh Syarif (Cakung Sikujang)
5.      Ki Abdullah (Berem Cakung)
6.      Ki Syafi’I (depan Masjid Syekh Hasan Basri)
7.      Ki Darda (sikujang)
8.      Ki Serudug/Ki Abdurrahman (sikujang)
9.      Ki Citra (bunut)
10.  Ki Rawing (Cakung)
11.  Ki Usuf Rantu (Cakung)
12.  Ki rentaka (Cakung srewu)
13.  Ki Kersen (rengas gede)
14.  Ki Sukur (cakung)
15.  Ki Andang (cakung)
16.  Ki Sueb (bojong)
17.  Ki Cinding (bojong)
18.  Ki Aspa (bojong)
19.  Ki Dana (bojong)
20.  Ki Tapa
21.  Ki Busur
22.  Ki As’ad
23.  Ki Awang
24.  Ki Soiman (Belod)
25.  Ki Jalaludin bin Ules (Jalal)
26.  Ki Jamal (bojog)
27.  Ki Maing (Kedung)
28.  Syekh kijing
29.  30.  Ki Baku (Onyam)
31.  Ki Abdullah (onyam)
32.  Nyimas ratu Gandawati
33.  Seh Jabar (Kandawati)
34. 35.  Nyi halimah/Nyi Ketul (renged)
36.  Ki Rayum (Makam Kosambi-Kresek)
37.  Ki Kalbita(Makam kosambi-kresek
38..  Ki Bedug bin Syeh mubarok (Kosambi Ayunan)
39.  Ki Murtado (Belod)
40.  Ki Maderan
Copas dari : http://nahdlatululumcempaka.blogspot.com/